Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
| Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi |Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung |Kata Perenungan |



Kehidupan di Pinggir Rel Kereta Api

Naskah oleh Sutar Soemithra l Foto-foto oleh Anand Yahya Naskah: Liu Ya-hsien

Seorang ibu berjalan menyusuri rel kereta api sambil membawa barang dagangan di punggungnya.

Tanpa menghiraukan keselamatan dirinya, mereka berdagang menyambung hidup di tepi rel kereta api yang berjarak kurang dari satu meter ketika kereta melintas di depannya.

Malam masih pekat, Jakarta belum terbangun dari mimpinya. Tapi Samini selalu bangun lebih dulu dari Jakarta . Jarum jam yang masih terpaku di angka tiga pagi tak menghalanginya untuk memulai hari. Dari rumah yang sempit, atau lebih tepat disebut gubuk, ia menuju sebuah titik beberapa jengkal di depan samping kiri rumahnya. Sebuah koran bekas ia taruh di tanah. Di atasnya ia taruh beberapa keranjang. Keranjang itu, nantinya ia isi dengan tomat, sawi, cabe, buncis, bawang merah, dan sayuran-sayuran lain. Dari menjual isi keranjang itulah ia menghidupi 4 anaknya.

Pembeli yang ia nantikan belum terlihat, yang datang justru suara bising yang tiba-tiba melintas. ˇ§Tut!! Tut!!ˇ¨ Sebuah kereta api melintas hanya sekitar setengah meter dari tempatnya duduk. Ia merunduk sehingga capingnya melindungi wajah dari deru kereta.

 

Pertaruhkan Nyawa Tiap 5 Menit

Lapak tempat ia berjualan sungguh tak lazim, yaitu di antara dua rel kereta api. Pada ruang kosong di antara dua rel yang lebarnya tidak lebih dari dua meter, di situlah ia menggelar jualannya. Pagi buta seperti itu masih sedikit kereta yang melintas, tapi ketika Jakarta sudah bangun dari tidurnya, setiap lima menit kereta melintas. Setiap lima menit pula nyawanya dipertaruhkan. Kadang kereta listrik Jabotabek, kadang kereta antar kota bertenaga diesel, atau kereta barang. Bukannya ia tak takut, ˇ§Namanya juga nyari penghasilan, yang bisa saya lakukan hanya begini,ˇ¨ tuturnya suatu ketika.

 

Tiap kali kereta melintas, ia segera merunduk dan melindungi wajahnya dengan caping yang dikenakannya. Maklum, bila kereta melintas, debu dan sampah-sampah kecil beterbangan. Juga lalat. Bau tak sedap yang bercampur aduk turut mengekor di belakang laju kereta. Caping sepertinya merupakan salah satu atribut wajib bagi mereka yang berjualan di sepanjang rel kereta seperti halnya Samini. Selain untuk melindungi wajah dari debu, caping bisa menghalangi teriknya mentari menjamah wajah. Apalagi mereka berjualan hingga pukul 11 siang.

Samini berjualan di situ tidak sendirian. Di rel sepanjang sekitar 500 meter yang memisahkan Kelurahan Tanah Tinggi dengan Kramat, Jakarta Pusat itu, dapat ditemui lapak-lapak yang kebanyakan menjual say ur-mayur. Di sampingnya berdiri Pasar Gaplok yang beberapa penjualnya sampai meluber ke pinggir rel. Warga di sepanjang rel tak takut melakukan aktivitas di lokasi yang rawan kecelakaan tersebut. Mereka bekerja, bermain, dan berjualan di pinggir rel. Bahkan, bila malam menjelang, sejumlah warga nekat meletakkan meja tepat di tengah rel. Mereka berjualan makanan dan minuman ringan. Jika ada kereta melintas, mereka langsung menggeser meja ke tepi rel. Para pedagang ini seperti sudah hafal jadwal kereta yang melintas.

Samini memiliki 4 anak, dan yang tertua baru duduk di kelas 5 SD. Yang kedua duduk di kelas 4, anak ketiga berumur 5 tahun, dan bungsu 4 tahun. Tidak gampang mengasuh empat anak yang masih kecil di tempat yang setiap saat maut bisa datang menjemput. ˇ§Saya nggak pernah tidur siang, mengawasi anak. Takut kalau ada kereta,ˇ¨ jelas Samini. Beruntunglah sejak ia tinggal di situ, dari tahun 1985-an, ia maupun keluarganya belum pernah terkena musibah kecelakaan.

 

Hari itu, ketika Dunia Tzu Chi ke tempatnya, anaknya bungsunya, Tiara, sedang bermain-main di dekatnya. Wajah polosnya sama sekali tak menunjukkan rasa takut ketika kereta melintas dengan kecepatan tinggi dengan suara klakson kereta yang memekakkan telinga. Apabila tak ada ibunya, Tiara tentu tak akan bisa bermain di dekat rel dengan sesukanya. Warga di situ seolah sepakat untuk mengusir anak-anak yang bermain di sekitar rel. Tak hanya itu, di sela-sela kehidupan yang semrawut dan dekat dengan maut itu, ternyata masih ada kepedulian. Setiap kali sirene tanda kereta akan lewat, secara spontan mereka berteriak, ˇ§ Ada kereta! Ada kereta!ˇ¨ Mereka tak pernah lelah meneriakkannya. Ironisnya, meski sudah ada teriakan dan sirene di pintu perlintasan juga berbunyi, orang-orang tetap duduk santai di rel dan baru bangun ketika kereta sudah mendekat. Setelah kereta berlalu, orang-orang segera kembali ke rel seperti riak air yang menggulung kembali setelah dilewati perahu.

Permukiman di pinggir rel kereta di kawasan ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pedagang dan kelompok pemulung. Keduanya dipisahkan oleh pintu lintasan kereta. Kelompok pedagang beserta pasar di pinggir rel terletak di sebelah selatan pintu rel,sedangkan kelompok pemulung di sebelah utara. Mereka mencari nafkah dengan berjualan, menjadi tukang ojek, buruh, ataupun pemulung.

Kedua kelompok permukiman tersebut adalah permukiman liar. Berdasarkan Undang-undang KA Nomor 13 Tahun 1992 dengan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 69, di wilayah sekitar 11 meter sisi rel kereta tak diperbolehkan mengadakan kegiatan apa pun, selain lalu lintas perjalanan kereta. Namun, tetap saja PT Kereta Api Indonesia (KAI) kesulitan menerapkan aturan tersebut.

Meski ilegal, tinggal di situ bukan berarti gratis. Enting (50 tahun) harus membayar sewa rumah sebesar Rp 70.000,- per bulan kepada pemilik rumah gubuk. Sebenarnya ia ingin menjadikannya hak milik, tapi ia tak mampu merogoh kocek untuk membelinya seharga Rp 1,5 juta. Biaya sewa sebesar itu masih harus ditambah dengan membeli air untuk minum, iuran MCK bersama, bayar listrik, serta menyekolahkan anak bungsunya yang duduk di bangku SLTP. Meski dari berjualan nasi uduk ia memperoleh penghasilan yang tak menentu dan hanya cukup untuk makan sehari-hari, ia ingin anak bungsunya, Ardian Dini, dapat bersekolah tinggi.

Menurut Anwar Maolana, Wakil Lurah Tanah Tinggi, permukiman liar di sepanjang rel kereta api yang membentang sekitar 1 km tersebut tidak termasuk wilayah administrasi Kelurahan Tanah Tinggi meski secara fisik sebenarnya termasuk wilayah Tanah Tinggi. Kelurahan Kramat, maupun Johar Baru, yang juga berdekatan dengan wilayah tersebut, juga tidak memasukkannya sebagai wilayah administratif mereka. Wilayah tersebut merupakan wilayah administrasi PT KAI. Tanggal 12 Juli 2003 lalu, ketika hadir ke sana untuk membagikan beras cinta kasih, Tzu Chi cukup direpotkan oleh hal ini. Hampir semua warga di situ adalah pendatang yang tidak memiliki KTP Jakarta. Para relawan harus dibantu Lurah Johar Baru untuk membagikan kupon ke tiap keluarga.

 

Melawan Hidup

Pembagian beras tersebut membawa berkah bagi seorang gadis kecil yang bernama Wulan. Waktu itu umur Wulan belum genap satu tahun. Harapan untuk berumur panjang sepertinya suram. Satu bulan setelah lahir, badannya kurus kering. Bila bernafas, dadanya menonjol sedangkan lehernya menjorok ke dalam. Ternyata ia mengidap flek di paru-paru. Tetangganya sampai mengolok-oloknya kurus kering seperti tikus. Untunglah Wulan bertemu Tzu Chi yang segera membawanya ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk diobati pada tahun 2003. Kini, Wulan telah tumbuh menjadi gadis kecil periang.

Di rumah gubuk berukuran sekitar 3x2,5 m, Wulan dibesarkan oleh Ahmad Sanusi (39 tahun) dan Istiani (33 tahun) dengan penuh kasih sayang berhiaskan bunyi klakson kereta. Seperti halnya Samini, Sanusi dan Istiani selalu siaga menjaga Wulan dari keganasan kereta yang hilir mudik di depan pintu rumah gubuknya. Ketika mereka mencari sampah bekas yang bisa didaur ulang di Pasar Gembrong, Wulan dititipkan di rumah neneknya di Galur. Istiani tentu tidak ingin anak semata wayangnya tersebut bernasib tragis seperti kakak perempuannya yang nyawanya direnggut laju kereta Juni 2005 lalu.

Botol air gelas kemasan bekas adalah mutiara bagi Istiani dan kebanyakan warga yang bermukim di kelompok pemulung. Mereka mengaisnya dari tempat-tempat sampah ataupun di jalan-jalan sejak hari masih subuh. Kadang sampai maghrib. ˇ§Walau kami pemulung, harus berusaha semampu mungkin. Kehidupan harus dilawan agar berubah nasib,ˇ¨ cetus Sanusi. ˇE

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id